PORTALCISARUA | Derasnya hujan yang mengguyur kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Minggu (2/3/2025) malam, bukan sekadar isyarat alam yang murka. Di balik luapan air yang membenamkan pemukiman warga dan memutus jembatan penghubung, tersimpan akumulasi kesalahan manusia yang selama ini didiamkan, bahkan difasilitasi.
Banjir yang melanda Kecamatan Cisarua kali ini jauh dari sekadar fenomena tahunan. Meluapnya sungai, terputusnya jembatan, serta lumpuhnya akses vital warga merupakan hasil dari kebijakan tata ruang yang amburadul. Alih fungsi lahan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang terus dibiarkan—bahkan seolah difasilitasi pemerintah melalui penerbitan izin-izin baru—menjadi bom waktu yang kini meledak di hadapan masyarakat.
Bukan hanya jembatan di Desa Leuwimalang perbatasan Desa Jogjogan yang roboh. Jembatan di Desa Tugu, Kampung Cijulang, Desa Kopo, serta sejumlah jembatan kecil lainnya di berbagai kampung juga hancur diterjang derasnya banjir bandang. Satu per satu akses penghubung yang selama ini menjadi urat nadi aktivitas warga terputus.
Tak ada lagi jalur aman bagi anak-anak berangkat ke sekolah, pedagang kecil menuju pasar, hingga petani yang mengangkut hasil bumi. Banjir kali ini bukan hanya merendam rumah, melainkan turut mengisolasi kehidupan warga di beberapa titik yang hingga kini belum seluruhnya terdeteksi karena medan yang sulit dijangkau.
Bukan Bencana Alam Semata, Tapi Bencana Kebijakan
Jika pemerintah daerah hanya sibuk melempar imbauan agar warga tetap tenang dan waspada, tanpa refleksi mendalam atas kebijakan yang mereka lahirkan sendiri, maka bencana ini akan terus berulang. Ketika izin-izin pembangunan di sempadan sungai dan kawasan resapan air terus diberikan demi mengejar target investasi wisata, di saat yang sama pemerintah sesungguhnya sedang menanam bom waktu ekologis.
Hutan-hutan yang dulu menjadi penyangga alami, perlahan berubah fungsi menjadi villa-villa mewah, kafe, hingga penginapan yang berdiri angkuh di tepian sungai. Daerah resapan air menyempit, air hujan kehilangan jalur alaminya untuk meresap, dan akhirnya tumpah ruah ke pemukiman warga di hilir.
Wakil Bupati Bogor, Ade Ruhandi atau yang akrab disapa Jaro Ade, memang telah menerima laporan dan mengimbau masyarakat tetap waspada. Namun, imbauan tanpa tindakan konkret berupa evaluasi kebijakan tata ruang hanyalah basa-basi birokrasi yang sudah terlalu sering terdengar.
Perlu Kesadaran Kolektif dan Kebijakan Berpihak pada Alam
Masyarakat Puncak, terutama warga di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, berhak atas rasa aman. Mereka berhak atas kebijakan yang berpihak pada keselamatan lingkungan dan nyawa manusia, bukan sekadar keuntungan investor dan geliat wisata.
Bencana ini bukan hanya tentang hujan deras, tapi tentang rusaknya keseimbangan alam akibat keserakahan yang berkedok pembangunan. Selama pemerintah tetap membiarkan alih fungsi lahan di kawasan hulu tanpa kendali, maka derita warga hanya akan jadi headline musiman—diingat saat banjir tiba, lalu dilupakan saat cuaca kembali cerah.
Puncak tidak butuh janji-janji kosong. Puncak butuh keseriusan, kebijakan yang berpihak pada alam, dan keberanian menolak godaan investasi yang merusak. Menyelamatkan Puncak bukan sekadar menyelamatkan wilayah wisata, tapi menyelamatkan masa depan generasi dan kehormatan kita sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam. (redsal)
إرسال تعليق
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif