Ibu Demokrasi Dunia: Amerika Serikat dan Kegagalan Mengangkat Perempuan sebagai Presiden
Oleh : portalcisarua
Amerika Serikat, yang sering disebut sebagai “Ibu Demokrasi Dunia,” telah lama mengklaim diri sebagai panutan dalam praktik demokrasi global. Namun, di balik citra mulia tersebut, terdapat kenyataan mencolok yang sulit diabaikan: negara ini belum pernah memiliki presiden perempuan sejak berdirinya pada 4 Juli 1776. Kegagalan Amerika untuk melahirkan pemimpin perempuan di kursi kepresidenan mengundang pertanyaan serius: apakah negara ini masih layak mempengaruhi negara lain dalam hal demokrasi?
Selama lebih dari dua abad, meskipun terdapat sejumlah wanita berpengaruh dalam politik, banyak di antara mereka terpaksa berjuang melawan patriarki yang mendalam. Masyarakat Amerika sering memandang perempuan sebagai pemimpin yang tidak kredibel dibandingkan pria, sebuah pandangan yang paradoks di negara yang menjunjung tinggi kesetaraan. Menurut survei Pew Research Center pada 2020, hanya 28% responden yang percaya bahwa perempuan dapat menjalankan tugas presiden dengan baik, sementara 49% memiliki pandangan positif terhadap laki-laki sebagai pemimpin. Kecenderungan ini mencerminkan norma-norma gender tradisional yang mengakar kuat dalam masyarakat (Pew Research Center, 2020).
Sejak pemilihan presiden pertama pada tahun 1789 hingga saat ini, meskipun perempuan seperti Hillary Clinton telah mencalonkan diri pada 2016, mereka masih belum mampu menembus langit-langit kaca. Clinton, dengan dukungan luas dari Partai Demokrat dan pengalaman sebagai mantan Menteri Luar Negeri, harus menerima kenyataan pahit kalah dari Donald Trump. Kegagalan Clinton bukan hanya masalah politik, tetapi juga mencerminkan ketidakberdayaan sistem yang lebih besar, di mana misogini dan penilaian berdasarkan gender sering kali mengalahkan kualifikasi. Sementara itu, Amerika kerap memamerkan agitasi dan propaganda mengenai isu-isu kesetaraan gender.
Pertanyaannya, apakah kegagalan ini mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam sistem demokrasi Amerika? Ataukah sebenarnya Amerika adalah negara yang kamuflase, di mana doktrin internalnya masih jauh dari semangat demokrasi yang sejati? Sebuah analisis oleh Harvard Kennedy School menunjukkan bahwa meskipun perempuan telah mencapai kemajuan di berbagai bidang, termasuk pendidikan dan bisnis, mereka masih sangat kurang terwakili dalam posisi kekuasaan politik. Penelitian menyatakan bahwa hanya 25% anggota Kongres adalah perempuan, sementara mayoritas posisi pimpinan di pemerintahan dan perusahaan besar masih dipegang oleh laki-laki (Harvard Kennedy School, 2020).
Dalam konteks ini, apakah Amerika Serikat masih berhak mempengaruhi negara lain mengenai demokrasi? Ketika negara ini berusaha menyebarkan nilai-nilai demokratis, terutama di negara-negara berkembang, bagaimana bisa negara yang sendiri masih berjuang untuk mengangkat perempuan ke posisi tertinggi dalam pemerintahan dapat dianggap sebagai panutan? Ironisnya, banyak negara lain, seperti Jerman dengan Angela Merkel dan Selandia Baru dengan Jacinda Ardern, telah berhasil memilih pemimpin perempuan. Bahkan negara seperti Indonesia, yang mayoritas Muslim dan seringkali dilabeli Amerika, mampu melahirkan kepemimpinan perempuan yang efektif. Indonesia telah menempatkan kesetaraan gender pada tempatnya, memberikan ruang bagi perempuan untuk berkiprah tidak hanya di sektor swasta, tetapi juga dalam pemerintahan dan kepartaian, Megawati Soekarno Putri Presiden RI ke 5, Sri Mulyani sebagai pejabat bahkan ekonom dunia yang dimana saat ini dua-duanya tengah duduk sesuai jabatan masing-masing, tidak hanya pada ranah jabatan penting bahkan kepartaian. Pertanyaannya, mengapa Amerika tidak mampu melakukan hal yang sama? Ada apa sebenarnya?
Di sisi lain, pengaruh Amerika dalam mempromosikan demokrasi sering kali dipertanyakan. Berbagai intervensi yang dilakukan di negara-negara lain untuk mendemokratisasi pemerintahan, tanpa memperhatikan perwakilan perempuan, semakin menunjukkan paradoks dalam kebijakan luar negeri AS. Dalam banyak kasus, Amerika tampaknya lebih mementingkan kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek daripada menegakkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya, termasuk kesetaraan gender.
Sebagai penutup, meskipun Amerika Serikat dengan bangga menyandang gelar “Ibu Demokrasi Dunia,” fakta bahwa negara ini belum pernah mengangkat perempuan sebagai presiden menunjukkan sebuah kegagalan besar dalam sistem demokrasi yang seharusnya inklusif. Saat dunia menantikan contoh kepemimpinan yang lebih beragam, bagaimana mungkin negara yang tidak mampu menghormati dan memperdayakan separuh dari populasinya bisa menjadi pelopor dalam perjuangan global untuk demokrasi? Dengan catatan sejarah yang kelam ini, Amerika Serikat harus merenungkan kembali perannya dan berupaya mengatasi tantangan gender yang menghambat kemajuan demokrasi yang sesungguhnya.
Pertanyaan besarnya, akankah pilpres 2024 Amerika saat ini mampu membuktikan Bahwa Kemala Haris sebagai calon satu-satunya dari kalangan perempuan mampu memenangkan pertarungan politik ini dengan melenggang menjadi pemenang dalam pilpres Amerika ?
إرسال تعليق
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif