METROPOLITAN.ID | Bogor. HARI Jadi Bogor (HJB) ke-535 yang jatuh pada 3 Juni lalu mengingatkan kembali pada jejak sejarah Prabu Siliwangi di Tanah Pajajaran. Sebuah kawasan perbukitan di daerah Rancamaya jadi saksi bisu kebesaran Kerajaan Pakuan Pajajaran. Situs Badigul, begitu orang menyebutnya. Namun, warisan itu terpaksa dikubur seiring berdirinya padang golf dan perumahan Rancamaya sejak 1993.
NAMA Bukit Badigul belakangan ramai dibahas kalangan budayawan. Ini menyusul gagalnya acara ‘Napak Tilas Eyang Prabu Siliwangi’ yang digagas Baraya Kujang Pajajaran, Mei lalu. Kegagalan ini dipicu adanya larangan dari pihak Rancamaya Golf & Country Estate terhadap gelaran budaya tersebut.
Padahal jika merunut pada catatan sejarah, dulunya situs Badigul jadi tempat suci untuk semedi dan munajatnya raja-raja Pajajaran. Namun sejak 1994, perbukitan yang menjadi bukti keberadaan Prabu Siliwangi itu harus dikubur demi kepentingan bisnis.
Tanah seluas 2,7 hektare yang merupakan warisan budaya itu dijual dan kini dikuasai PT Suryamas Duta Makmur sebagai pengembang Rancamaya Golf & Country Estate.
“Kami kecewa karena masyarakat yang ingin melakukan napak tilas atau ziarah ke makam Prabu Siliwangi tidak dibolehkan pihak perumahan. Padahal, itu kan makam atau petilasan Prabu Siliwangi,”ungkap Sekretaris Baraya Kujang Pajajaran, Ahmad Fahir.
Sedangkan, menurutnya, sejarah Prabu Siliwangi dan Pajajaran kuncinya ada pada dua tempat. Yakni situs Batu Tulis sebagai Keraton Pajajaran dan Bukit Badigul. Namun ia mempertanyakan alasan pihak pengembang yang justru melarang masyarakat mendatangi situs tersebut.
“Aneh, masa mau ke makam kolot sendiri atau leluhur tidak bisa (melalui napak tilas, red). Padahal negara yang maju adalah yang dapat mempertahankan dan tidak melupakan peninggalan sejarah atau cagar budaya,” kata Fahir.
Warga Rancamaya, Lutfi Suyudi mengatakan, sebelum perumahan Rancamaya berdiri, Situs Badigul sudah menginjak usia lebih dari lima abad atau hampir mencapai 600 tahun. Sedangkan keberadaan perumahan Rancamaya baru berdiri 1994 atau 23 tahun. Sehingga, warisan budaya itu bisa dihapus dari memori setiap warga setempat. Apalagi bagi kalangan budayawan.
“Sampai kapan pun semua orang meyakini bahwa ini dasar sejarah dan tidak bisa dihapus sampai kapan pun. Keberadaan Rancamaya bukan mempertahankan atau melestarikan, melainkan merusak,” ujar Lutfi yang masih memiliki hubungan saudara dengan pemilik tanah warisan budaya, Tubagus Cecep Adi Raja.
Ia pun menceritakan soal pembebasan lahan yang telah berlangsung sejak 1993, saat era orde baru. Menurutnya, pembebasan lahan itu melibatkan salah satu keluarga konglomerat Tanah Air. “Memang itu nggak bisa dipungkiri. Makanya sekarang di perumahan itu penghuninya orang-orang penting,” urainya.
Budayawan Bogor Fahir berharap pihak pengembang dapat bekerja sama dengan pemerintah. Sebab, Situs Badigul atau cagar budaya ini sangat bersejarah dan harus dikembalikan ke negara. “Badigul itu hak milik negara dan kerajaan itu aset negara. Apa pun alasannya, situs itu harus dikembalikan ke negara,” harap dia.
Fahir juga meminta seluruh pihak, khususnya Wali Kota Bogor Bima Arya dapat menyelamatkan Bukit Badigul bagaimanapun caranya. Sebab, sudah jelas Badigul ini harus dikembalikan sebagaimana fungsinya, yaitu menjadi situs bersejarah atau cagar budaya milik negara, bangsa dan pemangku adat Sunda, bukannya milik swasta. “Pemerintah wajib mengembalikan Badigul sesuai fungsinya menjadi situs cagar budaya dan diakui secara undang-undang atau memiliki ketetapan dari mulai wali kota, pemprov hingga Kemendikub,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, OS Rancamaya Golf Estate Josephin menjelaskan, sebenarnya kalau dari pengelola tidak memperbolehkan masyarakat datang ke bukit tersebut. Sebab, lahan itu sudah dimiliki seutuhnya oleh pihak Rancamaya. Sehingga kalaupun masyarkat ingin datang ke tempat itu untuk melakukan ritual ataupun lainnya, harus izin terlebih dahulu ke pengelola. “Kalau dari kami sebenarnya tidak boleh,” kata dia.
Menurutnya, memang tak dipungkiri di lapangan masih saja ada masyarakat yang mendatangi bukit itu walaupun sudah dilarang. Namun kalaupun ada yang bertandang ke kawasan itu dan ketahuan, akan diberitahukan agar segera meninggalkan tempat tersebut. “Kita kurang tahu kalau masih ada yang datang ke situ diam-diam. Kita juga dengar warga pada ziarah begitu. Namun dari kami pada intinya tidak diperbolehkan,” ucapnya.
Saat wartawan koran ini meminta izin mengabadikan Bukit Badigul, perempuan berambut pendek ini pun demikian, sama tak mengizinkannya. Ia malah menyarankan agar mengajukan permohonan kepada pimpinan teratas di tempatnya bekerja. “Kalau mau sebaiknya kirim email saja pengajuan izin untuk bisa memfoto wilayah itu,” imbuhnya.
Sedangkan saat ditanya kawasan Bukit Badigul apakah akan disulap menjadi perumahan, ia mengaku belum mengetahuinya karena progres pembangunan kewenangannya ada di pusat. “Kita kurang tahu kalau masalah itu. Sejauh ini belum ada rencana pembangunan,” tutupnya. (rez/d/feb/run)
sumber
http://www.metropolitan.id/2017/06/warisan-prabu-siliwangi-yang-dijual/
إرسال تعليق
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif