Lutung Kasarung|Dahulu ada seorang raja yang adil
dan bijaksana Prabu Tapa Agung namanya. Beliau dianugrahi tujuh orang putri.
Berturut-turut mereka itu adalah Purbararang, Purbadewata, Purbaendah,
Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan si bungsu Purbasari. Ketujuh putri
itu sudah menikah remaja dan semuanya cantik-cantik. Yang paling cantik dan
paling manis budinya adalah Purbasari. Ia menjadi buah hati seluruh rakyat
Kerajaan Pasir Batang.
Para
bangsawan dapat membuatkan Purbasari taman, istana kecil, dan Jamban Salaka.
Itu mereka lakukan sembunyi-sembunyi dalam waktu yang lama, pikir Purbararang.
Kalau Purbasari diharuskan membuat huma dalam satu hari seluas lima ratus depa, tak ada yang berani atau
dapat membantunya. Ia sendiri dengan mudah akan dapat membuka huma ribuan depa
dengan bantuan para prajurit.
Putri sulung Purbararang sudah
bertunangan dengan Raden Indrajaya, putra salah seorang mentri kerajaan. Kepada
Purbararang dan Indrajayalah seharusnya Prabu Tapa Agung dapat mempercayakan
kerajaan. Akan tetapi, walaupun beliau sudah lanjut usia dan sudah waktunya
turun tahta, beliau belum leluasa untuk menyerahkan mahkota. Karena, baik
Purbararang maupun Indrajaya belum dapat beliau percaya sepenuhnya.
Sang Prabu merasa sebagai putri
sulung, Perangai Purbararang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari seorang
pemimpin kerajaan. Purbararang mempunyai sifat angkuh dan kejam, sedangkan
Indrajaya adalah seorang pesolek. Bangsawan muda itu akan lebih banyak
memikirkan pakaian dan perhiasan dirinya daripada mengurus keamanan dan
kesejahteraan rakyat kerajaan.
Menghadapi masalah seperti itu,
Prabu Tapa Agung sering bermuram durja. Demikian pula permaisurinya, ibunda
ketujuh putri itu. Mereka sering membicarakan masalah itu, tetapi tidak ada
jalan keluar yang ditemukan.
Namun, kiranya kerisauan dan
kebingungan raja yang baik itu diketahui oleh Sunan Ambu yang bersemayam di
kahyangan atau Buana Pada. Pada suatu malam, ketika Prabu Tapa Agung tidur,
beliau bermimpi. Di dalam mimpinya itu Sunan Ambu berkata, “Wahai Raja yang
baik, janganlah risau. Sudah saatnya kamu beristirahat. Tinggalkanlah istana.
Tinggalkanlah tahta kepada putri bungsu Purbasari. Laksanakanlah keinginanmu
untuk jadi pertapa.”
Setelah beliau bangun, hilanglah
kerisauan beliau. Petunjuk dari khayangan itu benar-benar melegakan hati beliau
dan permaisuri.
Keesokan harinya sang Prabu
mengumpulkan ketujuh putri beliau, pembantu, penasehat beliau yang setia, yaitu
Uwak Batara Lengser, patih, para menteri dan pembesar-pembesar kerajaan
lainnya.
Beliau menyampaikan perintah
Sunan Ambu dari Kahyangan bahwa sudah saatnya beliau turun tahta dan
menyerahkan kerajaan kepada Putri Purbasari.
Berita itu diterima dengan
gembira oleh kebanyakan isi istana, kecuali oeh Purbararang dan Indrajaya.
Mereka pura-pura setuju, walaupun didalam hati mereka marah dan mulai mencari
akal bagaimana merebut tahta dari Purbasari.
Akal itu segera mereka dapatkan.
Sehari setelah ayah bunda mereka tidak berada di istana, Purbararang dengan
bantuan Indrajaya menyemburkan boreh, yaitu zat berwara hitam yang dibuat dari
tumbuh-tumbuhan, ke wajah dan badan Purbasari.
Akibatnya Purbasari menjadi hitam
kelam dan orang Pasir Batang tidak mengenalinya lagi. Itulah sebabnya putri
bungsu itu tidak ada yang menolong ketika diusir dari istana.
Tak ada yang percaya ketika dia
mengatakan bahwa ia Purbasari, Ratu Pasir Batang yang baru. Di samping itu,
mereka yang tahu dan menduga bahwa gadis hitam kelam itu adalah Purbasari,
tidak berani pula menolong.
Mereka takut akan Purbararang
yang terkenal kejam. Bahkan Uwak Batara Lengser tidak berdaya mencegah tindakan
Purbararang itu.
Ketika ia disuruh membawa
Purbasari ke hutan, ia menurut. Akan tetapi setiba di hutan, Uwak Batara
Lengser membuatkan gubuk yang kuat bagi putri bungsu itu. Ia pun menasehatinya
dengan kata-kata lembut, “Tuan Putri bersabarlah. Jadikanlah pembuangan ini sebagai
kesempatan bertapa untuk memohon perlindungan dan kasih sayang para penghuni
kahyangan. “Nasehat Uwak Batara Lengser itu mengurangi kesedihan Putri
Purbasari. Ia setuju bahwa ia akan melakukan tapa. “Bagus, Tuan Putri.
Janganlah khawatir, Uwak akan sering datang kesini menengok dan mengirim
persediaan.”
Selagi didunia atau Buana Panca
Ttengah terjadi peristiwa pengusiran dan pembuangan Purbasari kedalam hutan, di
Kahyangan atau Buana Pada terjadi peristiwa lain.
Berhari-hari Sunan Ambu gelisah
karena putranya Guruminda tidak muncul. Maka Sunan Ambu pun meminta para
penghuni kahyangan baik pria maupun wanita untuk mencarinya.
Tidak lama kemudian seorang
pujangga datang dan memberitakan bahwa Guruminda berada ditaman Kahyangan.
Ditambahkan bahwa Guruminda tampak bermuram durja. Sunan Ambu meminta kepada
pelayan kahyangan agar Guruminda dipanggil, diminta menghadap.
Agak lama Guruminda tidak
memenuhi panggilan itu sehingga ia dipanggil kembali. Akhirnya dia muncul
dihadapan ibundanya, Sunan Ambu.
Akan tetapi, ia bertingkah laku
lain dari pada biasanya. Ia terus menunduk seakan-akan malu memandang wajah
ibunya sendiri. Namun, kalau Sunan Ambu sedang tidak melihat, ia mencuri-curi
pandang.
“Guruminda, anakku, apakah yang
kau sedihkan?Ceritalah kepada Ibu,” ujar Sunan Ambu dengan lembut dan penuh
kasih sayang. Guruminda tidak menjawab. Demikian pula ketika Sunan Ambu
mengulang pertanyaan beliau. Karena Sunan Ambu seorang wanita yang arif, beliau
segera menyadari apa yang terjadi dengan putranya.
Beliau berkata, “Ibu sadar,
sekarang kau sudah remaja. Usiamu tujuh belas tahun. Adakah bidadari yang
menarik hatimu. Katakanlah pada Ibu siapa dia. Nanti Ibu akan memperkenalkanmu
kepadanya.” Untuk beberapa lama Guruminda diam saja. “Guruminda, berkatalah, “ujar
Sunan Ambu.
Guruminda pun berkata, walaupun
perlahan-lahan sekali, “Saya tidak ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun,
kecuali yang secantik Ibunda,” katanya.
Mendengar perkataan putranya itu
Sunan Ambu terkejut. Akan tetapi, sebagai wanita yang arif beliau tidak
kehilangan akal apalagi marah. Beliau arif bahwa putranya sedang menghadapi
persoalan. Beliau pun berkata, “Guruminda, gadis yang serupa dengan Ibunda
tidak ada di Buana Pada ini. Ia berada di Buana Panca Tengah. Pergilah kamu ke sana . Akan tetapi tidak
sebagai Guruminda. Kamu harus menyamar sebagai seekor kera atau lutung."
Setelah Sunan Ambu berkata
begitu, berubahlah Guruminda menjadi seekor kera atau lutung. “Pergilah anakku,
ke Buana Panca Tengah, kasih sayangku akan selalu bersamamu. Kini namamu Lutung
Kasarung.”
Guruminda sangat terkejut dan
sedih ketika menyadari bahwa dia sudah menjadi lutung. Ia beranggapan bahwa ia
telah dihukum oleh Ibunda Sunan Ambu karena kelancangannya. Ia cuma menunduk.
“Pergilah, Anakku. Gadis, itu menunggu disana dan memerlukan bantuanmu.“ ujar
Sunan Ambu pula.
Guruminda sadar bahwa menjadi
lutung adalah sudah nasibnya dan ia pun mengundurkan diri dari hadapan
ibundanya. Dengan harapan akan bertemu gadis yang serupa dengan ibundanya, ia
meninggalkan Buana Pada. Ia melompat dari awan ke awan hingga akhirnya tiba di
bumi. Guruminda mencari tempat yang cocok untuk turun. Ketika melihat sebuah
hutan, ia pun melompat ke bumi. Ia melompat dari pohon ke pohon. Lutung-lutung
dan monyet-monyet mengelilinginya. Karena mereka menyadari bahwa Guruminda,
yang berganti nama menjadi Lutung Kasarung, lebih besar dan cerdas, mereka
menerimanya sebagai pemimpin. Demikianlah Lutung Kasarung mengembara di dalam
hutan belantara, mencari gadis yang sama cantiknya dengan ibunda Sunan Ambu.
Tersebutlah di kerajaan Pasir
Batang, Ratu Purbararang hendak melaksanakan upacara. Dalam upacara itu
diperlukan kurban binatang. Ratu Purbararang memanggil Aki Panyumpit. “Aki!“
katanya, “Tangkaplah seekor hewan untuk dijadikan kurban dalam upacara. Kalau
kamu tidak mendapatkannya nanti siang, kamu sendiri jadi gantinya.”
Dengan ketakutan yang luar biasa
Aki Panyumpit tergesa-gesa masuk hutan belantara. Akan tetapi, tidak seekor
bajingpun ia temukan. Binatang-binatang sudah diberi tahu oleh Lutung Kasarung
agar bersembunyi. Lalu, berjalanlah Aki Panyumpit kian kemari di dalam hutan
itu hingga kelelahan.
Ia pun duduk dibawah pohon dan
menangis karena putus asa. Pada saat itulah Lutung Kasarung turun dari pohon
dan duduk dihadapan Aki Panyumpit. Aki Panyumpit segera mengambil sumpitnya dan
membidik kearah Lutung Kasarung.
Namun Lutung Kasarung berkata,
“Janganlah menyumpit saya karena saya tidak akan mengganggumu. Saya datang
kesini karena melihat kakek bersedih.”
Aki Panyumpit terkejut mendengar
lutung dapat berbicara. “Mengapa kakek bersedih?” tanya Lutung Kasarung.
Ditanya demikian, Aki Panyumpit
menceritakan apa yang dialaminya. “Kalau begitu bawalah saya ke istana,kakek,“
ujar Lutung Kasarung.
“Tetapi kamu akan dijadikan
kurban!” kata Aki Panyumpit yang menyukai Lutung Kasarung.
“Saya tidak rela kamu dijadikan
kurban,” lanjut Aki Pannyumpit.
“Tetapi kalau kakek tidak
berhasil membawa hewan, kakek sendiri yang akan disembelih sebagai kurban,”
jawab Lutung Kasarung.
Aki Panyumpit tidak dapat
berkata-kata lagi karena bingung.
“Oleh karena itu, bawalah saya ke
istana. Janganlah khawatir,” Kata Lutung Kasarung.
“Baiklah, kalau begitu”, kata Aki
Panyumpit. Mereka pun keluar dari hutan menuju kerajaan Pasir Batang.
Setiba di alun-alun kerajaan,
beberapa prajurit memegang dan mengikat Lutung Kasarung. Prajurit lain mengasah
pisau untuk menyembelihnya.
Lutung Kasarung yang sudah di
ikat dibawa ketengah alun-alun. Di sana
Purbararang dan Indrajaya serta para pembesar kerajaan sudah hadir. Demikian
pula lima putri
adik-adik Purbararang.
Saat itu segala perlengkapaan
upacara sudah disiapkan. Seorang pendeta sudah mulai menyalakan kemenyan dan
berdoa. Seorang prajurit dengan pisau yang sangat tajam berjalan akan
melaksanakan tugasnya. Ia memegang kepala Lutung Kasarung. Akan tetapi,
tiba-tiba Lutung Kasarung menggeliat.
Tambang-tambang ijuk yang
mengikat tubuhnya satu persatu mulai putus dan kemudian Ia pun bebas. Ia lalu
memporak-porandakan perlengkapan upacara. Para
putri dan wanita-wanita bangsawan menjerit ketakutan. Para
prajurit mencabut senjata dan berusaha membunuh Lutung Kasarung. Namun, tidak
seorang pun sanggup mendekatinya.
Lutung Kasarung sangat lincah dan
tangkas. Ia melompat- lompat kesana kemari, di tengah-tengah hadirin yang
berlari menyelamatkan diri.
Lutung Kasarung sengaja merusak
barang-barang dan perlengkapan. Di melompat ke panggung tempat para putri
menenun dan merusak perlengkapan tenun.
Setelah hadirin melarikan diri
dan prajurit-prajurit kelelahan, Lutung Kasarung duduk di atas benteng yang
mengelilingi halaman dalam istana .
Dari dalam istana, Purbararang
dan adik-adiknya memandanginya dengan keheranan dan ketakutan. Indrajaya ada
pula disana, ikut sembunyi dengan putri-putri dan para wanita.
Purbararang kemudian menjadi
marah, “Bunuh! Ayo bunuh lutung itu!” teriaknya. Beberapa orang prajurit maju
akan mengepung Lutung Kasarung lagi. Akan tetapi, Lutung Kasarung segera
menyerang mereka dan membuat mereka lari ketakutan ke berbagai arah.
Uwak Batara Lengser adalah orang
tua yang bijaksana, walaupun sudah tua tetap gagah berani. Ia berjalan menuju
Lutung Kasarung dan berdiri di dekatnya. Ternyata, Lutung Kasarung tidak
memperlihatkan sikap permusuhan kepadanya. “Kemarilah Lutung, janganlah kamu
nakal dan menakut-nakuti orang, kamu anak yang baik.”
Pada saat itu beberapa orang
prajurit mencoba menyergap Lutung Kasarung. Namun, Lutung Kasarung selalu
waspada. Ia menyerang balik, mencakar, dan menggigit mereka. Mereka tunggang
langgang melarikan diri dan tidak berani muncul kembali. Setelah itu Lutung
Kasarung kembali kepada Uwak Batara Lengser dan seperti seorang anak yang baik,
duduk didekat kaki orang tua itu.
Purbararang yang melihat
pemandangan itu dari jauh, timbul niat jahatnya. Lutung yang besar dan jahat
itu sebaiknya dikirim kehutan tempat Purbasari berada, pikirnya. Kalau
Purbasari tewas diterkam lutung itu, maka ia akan tenang menduduki tahta
Kerajaan Pasir Batang. Cara mengirim lutung itu tampaknya dapat dilaksanakan
melalui Uwak Batara Lengser karena lutung itu tidak memperlihatkan sikap
permusuhan terhadap Uwak Batara Lengser.
Berkatalah Purbararang kepada
Uwak Batara Lengser, meminta orang tua itu mendekat. Orang tua itu menurut,
“Uwak Batara Lengser, singkirkan lutung galak itu kehutan. Tempatkan bersama
Purbasari. Kalau sudah jinak, kita kurbankan nanti.” Uwak Batara Lengser tahu maksud
Purbararang, tetapi ia menurut saja. Ia pun tidak yakin apakah lutung itu akan
mencederai Purbasaari. Ia melihat sesuatu yang aneh pada lutung itu. Itulah
sebabnya ia mengulurkan tangan pada lutung itu sambil berkata, ”Marilah kita
pergi, lutung. Kamu saya bawa ketempat yang lebih cocok bagimu.” Lutung itu
menurut. Uwak Batara Lengser pun menuntunnya meninggalkan tempat itu dan menuju
ke hutan.
Sampai di hutan, Uwak Batara
Lengser berseru kepada Purbasari memberitahukan kedatangannya. Purbasari keluar
dari gubuk dengan gembira. Lutung Kasarung melihat seorang gadis yang kulitnya
hitam kelam di celup boreh. Ia tertegun sejenak sehingga Uwak Batara Lengser
berkata kepadanya, “Itu Putri Purbasari. Ia gadis yang manis dan baik hati.
Kamu harus menjaganya.”
“Ya,” kata Lutung Kasarung.
Uwak Batara Lengser dan Purbasari
keheranan. Akan tetapi, Uwak Batara Lengser berkata, “Semoga kedatanganmu ke
Pasir Batang dikirim Kahyangan untuk kebaikan semua.”
Setelah Uwak Batara Lengser
pergi, Lutung Kasarung meminta bantuan kawan-kawannya untuk mengumpulkan
buah-buahan dan bunga-bungaan untuk Purbasari. Putri itu benar-benar terhibur
dalam kesedihannya. Ia pun tidak kesunyian lagi. Bukan saja Lutung Kasarung
selalu ada didekatnya, tetapi binatang-binatang lain seperti rusa, bajing, dan
burung-burung berbagai jenis, berkumpul dekat gubuknya.
Ketika malam tiba, Lutung
Kasarung berdoa, memohon kepada Ibunda Sunan Ambu agar membantunya. Sunan Ambu
mendengar doanya dan memerintahkan kepada beberapa orang pujangga dan pohaci
agar turun ke bumi untuk membantu Lutung Kasarung.
Ketika para pujangga tiba dihutan
itu, Lutung Kasarung meminta kepada mereka agar dibuatkan tempat mandi bagi
Purbasari. Para pujangga yang sakti itu
membantu Lutung Kasarung membuat jamban salaka, tempat mandi dengan pancuran
emas dan lantai serta dinding pualam. Airnya dialirkan dari mata air yang
jernih yang ditampung dulu dalam telaga kecil. Ke dalam telaga kecil itu
ditaburkan berbagai bunga-bungaan yang wangi. Sementara itu para pohaci
menyiapkan pakaian bagi Purbasari. Pakaian itu bahannya dari awan dan warnanya
dari pelangi. Tak ada pakaian seindah itu di bumi.
Keesokan harinya Purbasari sangat
terkejut melihat Jamban Salaka itu. Akan tetapi, Lutung Kasarung mengatakan
kapadanya bahwa ia tidak perlu heran. Kabaikan hati Purbasari telah menimbulkan
kasih sayang Kahyangan kepadanya.
“Jamban Salaka dan pakaian yang
tersedia di dalamnya adalah hadiah dari Buana Pada bagi Tuan Putri,” kata
Lutung Kasarung
“Kau sendiri adalah hadiah dari
Buana Pada bagiku, Lutung,” kata Purbasari, lalu memasuki Jamban Salaka.
Ternyata, air di Jamban Salaka memiliki khasiat yang tidak ada pada air biasa
dipergunakan Purbasari.
Ketika air itu dibilaskan,
hanyutlah boreh dari kulit Purbasari. Kulitnya yang kuning langsat muncul
kembali bahkan lebih cemerlang. Dalam kegembiraannya, Purbasari tidak
putus-putusnya mengucapkan syukur kepada Kahyangan yang telah mengasihinya.
Selesai mandi, ia mengambil
pakaian buatan para pohaci. Ia terpesona oleh keindahan pakaian yang dilengkapi
perhiasan-perhiasan yang indah. Ia pun segera mengenakannya, lalu keluar dari
Jamban Salaka. 'Lutung lihatlah!. Apakah pakaian ini cocok bagiku?”
Lutung Kasarung sendiri
terpesona. Dalam hatinya ia berkata, “Putri Purbasari, engkau seperti kembaran
Ibunda Sunan Ambu, hanya jauh lebih muda.”
“Lutung, pantaskah pakaian ini
bagiku?” tanya Purbasari pula.
“Para
pohaci mencocokkannya bagi tuan putri,“ jawab Lutung Kasarung seraya bersyukur
dalam hatinya dan memuji kebijaksanaan Ibunda Sunan Ambu.
Peristiwa didalam hutan itu
akhirnya terdengar oleh Purbararang. Rakyat Kerajaan Pasir Batang yang biasa
mencari buah-buahan atau berburu kehutan membawa kabar aneh. Mereka bercerita
tentang hutan yang berubah menjadi taman, tentang gubuk gadis hitam yang
berubah menjadi istana kecil, tentang tempat mandi yang sangat indah, dan
pimpinan seekor lutung yang sangat besar. Seekor lutung besar menyebabkan
mereka tidak berani memasuki taman itu.
Kabar aneh itu sampai juga ke
telinga Purbararang. Ia menduga ada bangsawan-bangsawan Pasir Batang yang
diam-diam membantu Purbasari. Ia pun menjadi marah dan berpikir mencari jalan
untuk mencelakakan Purbasari. Ia segera menemukan jalan untuk mecelakakan adik
bungsunya itu.
Purbararang berpendapat bahwa
para bangsawan Pasir Batang yang berpihak pada Purbasari tidak akan berani
membantu adiknya itu secara terang-terangan. Oleh karena itu, Purbasari harus
ditantang dalam pertandingan terbuka.
Maka ia pun memanggil Uwak Batara
Lengser dan berkata, “Uwak, berangkatlah ke hutan. Sampaikan pada Purbasari
bahwa saya menantangnya berlomba membuat huma. Purbasari harus membuat huma
seluas lima
ratus depa dan harus selesai sebelum fajar besok. Kalau tidak dapat menyelesaikannya,
atau tidak dapat mendahului saya maka ia akan dihukum pancung.”
Uwak Batara Lengser segera pergi
kehutan. Ia disambut oleh Purbasari dan Lutung Kasarung. Ketika mendengar
berita yang menakutkan itu, Purbasari pun menangis. 'Kalau nasib saya harus
mati muda, saya rela. Yang menyebabkan saya menangis adalah tindakan kakanda
Purbararang. Begitu besarkah kebenciannya kepada saya?”
Lutung Kasarung berkata, ”Jangan
khawatir Tuan Putri, Kahiangan tidak akan melupakan orang yang tidak bersalah.”
Sementara ketiga sahabat itu
sedang berbicara didalam hutan, Purbararang tidak menyia-nyiakan waktu. Ia
memanggil seratus orang prajurit dan memerintahkan agar mereka membuka hutan
untuk huma didekat tempat tinggal Purbasari. Huma harus selesai keesokan
harinya. Kalau tidak selesai, para prajurit itu akan dihukum pancung. Para prajurit yang ketakutan segera berangkat ke hutan
dan langsung bekerja keras membuka hutan. Mereka terus bekerja walaupun malam
turun dan mulai gelap. Mereka terpaksa menggunakan obor yang banyak jumlahnya.
Sementara itu Lutung Kasarung
mempersilahkan Purbasari masuk kedalam istana kcilnya untuk beristirahat.
“Serahkanlah pekerjaan membuat huma itu kepada saya, Tuan Putri,' katanya.
Ketika Purbasari sudah masuk
kedalam istana kecilnya, Lutung Kasarung segera berdoa, memohon bantuan Ibunda
Sunan Ambu dari Buana Pada. Doanya didengar dan Sunan Ambu mengutus empat puluh
orang pujangga untuk membuat huma. Lahan yang dipilih adalah sebidang huma yag
sudah terbuka dan cocok untuk ditanami padi. Huma itu letaknya tidak jauh dari
hutan yang sedang dibuka oleh prajurit-prajurit Pasir Batang.
Keesokan harinya ketika matahari
terbit, berangkatlah rombongan dari istana Pasir Batang menuju hutan.
Purbararang duduk diatas tandu yang dihiasi sutra dan permata yang gemerlapan.
Sementara itu tunangannya, Indrajaya, menunggang kuda di sampingnya. Lima orang putri
bersaudara ada pula dalam rombongan bersama sejumlah bangsawan. Ratusan
prajurit mengawal. Tak ketinggalan seorang algojo dengan kapak besarnya.
Purbararang yakin bahwa hari itu ia akan dapat menghukum pancung adiknya, Purbasari.
Akan tetapi, ia dan rombongan terkejut sebab disamping huma yang dibuka para
prajurit telah ada pula huma lain yang lebih bagus.
Di tengah huma itu berdiri Uwak
Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Gusti Ratu,” kata Uwak Batara Lengser,
“Inilah huma Putri Purbasari.”
Purbararang benar-benar kecewa,
malu,dan marah. Ia berteriak, “Baik, tetapi sekarang saya menantang Purbasari
bertanding kecantikan denganku. Kalian yang menilai,“ katanya seraya berpaling
pada khalayak.
Purbararang menyangka Purbasari
masih hitam kelam karena boreh. “Uwak, suruh dia keluar dari rumahnya!”
Uwak Batara Lengser
mempersilahkan Purbasari keluar dari istana kecilnya. Purbasari muncul dan
orang-orang memadangnya dengan takjub. Banyak yang lupa bernapas dan berkedip.
Banyak pula yang lupa menutup mulutnya.
Begitu cantiknya Purbasari
sehingga seorang bangsawan berkata, “Saya seakan-akan melihat Sunan Ambu turun
ke Bumi.”
Melihat hal itu mula-mula
Purbararang kecut. Akan tetapi dia ingat, bahwa dia masih punya harapan untuk menang.
Ia berteriak, “Purbasari, marilah kita bertanding rambut. Siapa yang lebih
panjang, dia menang. Lepas sanggulmu!” Sambil berkata begitu Purbararang
berdiri dan melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat terurai hingga
kepertengahan betisnya.
Purbasari terpaksa menurut. Ia
pun melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam berkilat dan halus bagai sutra
bergelombang bagaikan air terjun hingga ketumitnya. Purbararang terpukul
kembali. Akan tetapi, dia tidak kehabisan akal. Ia ingat bahwa ia mempunyai
pinggang yang sangat ramping.. Ia berkata, “Lihat semua. Ikat pinggang yang
kupakai ini bersisa lima
lubang. Kalau Purbasari menyisakan kurang dari lima lubang, ia dihukum pancung." Seraya
berkata begitu ia melepas ikat pinggang emas bertahta permata dan
melemparkannya kepada Purbasari. Purbasari memakainya dan ternyata tersisa
tujuh lubang
.
Sekarang Purbararang menjadi
kalap. Ia berteriak, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan
yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Pertandingan apa itu? Coba
tebak!“ katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri
didekatnya. Ia tertawa karena yakin ia akan menang dalam pertandingan terakhir
ini.
“Pertandingan apa, Kakanda?” kata
salah seorang di antara adiknya.
Purbararang tersenyum.
"Dengarkan!“ katanya pula, “Dalam pertandingan ini kalian harus
membandingkan siapa di antara calon suami kami yang lebih tampan. Lihat kepada
tunangan saya, Indrajaya. Bagaimana pendapat kalian? Tampankah ia?”
Untuk beberapa lama tidak ada
yang menjawab. Mereka bingung dan terkejut. Purbararang membentak, “Jawab!
Tampankah dia?” Orang-orang menjawab, “Tampan, Gusti Ratu!” Purbararang tidak
puas, “Lebih nyaring!”
“Tampan Gusti Ratu!”
Sambil tersenyum Purbararang
melihat kearah Purbasari yang berdiri dekat Uwak Batara Lengser dan Lutung
Kasarung. “Dengarkanlah, Purbasari. Sekarang kamu tidak bisa lolos. Kita akan
bertanding membandingkan ketampanan calon suami. Calon suamiku adalah Indrajaya
yang tampan dan gagah itu. Siapakah calon suamimu itu?” Purbasari kebingungan.
“Siapa lagi calon suamimu kecuali lutung besar itu?“ teriak Purbararang seraya
menunjuk ke arah Lutung Kasarung. Lalu ia tertawa.
Purbasari terdiam. Ia memandang
ke arah Lutung Kasarung. Semuanya terdiam. Algojo melangkah ke arah Purbasari
seraya memutar-mutar kapaknya yang lebar dan tebal. Seraya memandang ke arah
Lutung Kasarung dan sambil tersenyum sayu Purbasari berkata, “Memang seharusnya
kamu menjadi calon suamiku, Lutung.”
Mendengar apa yang diucapkan
Purbasari itu gembiralah Purbararang. Sekarang ia dapat membinasakan Purbasari.
Akan tetapi, sesuatu terjadi. Mendengar perkataan Purbasari itu, Lutung
Kasarung berubah, kembali ke asalnya sebagai Guruminda yang gagah dan tampan.
Semua terheran-heran dan terpesona oleh ketampanan Guruminda. Guruminda sendiri
memegang tangan Purbasari dan berkata, “Ratu kalian yang sebenarnya, Purbasari,
telah mengatakan bahwa saya sudah seharusnya menjadi calon suaminya. Sebagai
calon suaminya, saya harus melindungi dan membantunya. Tahtanya telah direbut
oleh Purbararang. Sebagai tunangan Purbararang, Anda harus berada di pihaknya,
Indrajaya. Oleh karena itu, marilah kita berperang tanding.”
Indrajaya bukannya siap berperang
tanding, tetapi malah berlutut dan menyembah kepada Guruminda, mohon ampun dan
dikasihani. Purbararang menangis dan minta maaf kepada Purbasari. Sementara itu
para bangsawan dan prajurit serta rakyat justru bergembira. Mereka akan bebas
dari ketakutan dan tekanan para pendukung Purbararang.
Pada hari itu juga Ratu purbasari
kembali ke Kerajaan didampingi oleh suaminya, Guruminda. Purbararang dan
Indrajaya dihukum dan dipekerjakan sebagai tukang sapu di taman istana. Rakyat
merasa lega. Mereka kembali bekerja dengan rajin seperti di jaman pemerintahan
Prabu Tapa Agung. Berkat bantuan Guruminda, Purbasari memerintah dengan cakap
dan sangat bijaksana. Rakyat Kerajaan Pasir Batang merasa terlindungi, suasana
aman dan tentram sehingga mereka bisa bekerja dengan tenang pada akhirnya
kemakmuran dapat mereka peroleh secara nyata dan merata.
sumber : balidirectory
إرسال تعليق
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif