BERITABOGOR.COM | Masalah sampah dan air rasanya paling akut hanya di
Puncak Bogor. Kenapa Puncak Bogor. Secara umum sebagian sampah dan air yang
masuk ibu kota berasal dari Puncak Bogor yang mengalir melalui sungai Ciliwung
ditambah dengan sampah-sampah di pemukiman sepanjang aliran sungai Ciliwung
hingga warga Jakarta sendiri.
Ketua Komunitas
Rumpun Hijau, Sunyoto mengungkapkan sampah muncul dari manusia bukan alam, pada
saat kita fokus menangani sampah dari hulu, semestinya kita juga sadar hulu
dari sampah itu siapa, manusialah hulu dari sampah. Kalau puncak dikatakan
sebagai hulu, itu hanya sebatas pada hulu jalur lalu lintas sampah dan air.
"Pada situasi
dulu, puluhan tahun yang lalu, sampah dan air mungkin belum begitu menjadi
masalah berarti bagi warga Puncak dan Jakarta. Karena warga Jakarta sendiri
belum menempati ruang-ruang dataran rendah di jakarta. Begitu pula dengan
sampah dan air dari hulu, dahulu juga belum banyak warga membangun rumah-rumah,
villa, hotel, tempat usaha dan bangunan-bangunan lainya. Sehingga ruang terbuka
untuk Catch Water Area masih melimpah, begitu pula manusia nya, belum begitu
banyak manusia yang tinggal yang pada akhirnya memproduksi sampah dan tidak
tahu bagaimana cara mengelolanya," ungkapnya.
Sementara, lanjut
dia, laju ekonomi dan perkembangan pembangunan tidak di antisipasi dengan tata
ruang dan tata kelola sampah dan air yang memadai. Alam tidak menjadi korban,
karena alam tidak pernah mengeluh. Alam akan menerima apa saja yang dilakukan
manusia, dan pada akhirnya alam akan mengembalikan lagi dengan apa yang
dilakukan manusia.
Menurutnya Pemerintah
selaku pemangku dan pelaksana kebijakan selama ini belum melakukan
langkah-langkah atau tindakan yang jitu. Kegamangan dan kebingungan selama ini
juga nampak dari apa yang mereka lakukan. Ego sektoral dan kepentingan ekonomi
masing – masing lembaga masih nampak dalam kebijakan yang dilakukan.
Potret terkini Puncak
Bogor
Akibat hubungan
intimnya puncak dengan ibukota, Puncak bagi kelompok tertentu bagaikan gadis
cantik yang compang camping di perkosa, namun bagi kelompok masyarakat yang
lainnya lagi, puncak adalah emas, tidak peduli alamnya rusah dan seterusnya.
Kulture budaya
masyarakat yang tidak urban menjadikan tingkat hunian yang padat. Anak tidak
bisa jauh dengan orang tua begitu pula sebaliknya. Hal tersebut menyebabkan
rumah saling berhimpit, tidak ada lagi halaman. Jalan masuk kampung rata-rata
hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau kendaraan roda dua. Kesederhanaan
Sunda menjadikan mereka mampu hidup dengan kondisi seperti tersebut. Rata-rata
mata pencaharian mereka adalah berdagang, bertani, Ojek, bekerja di hotel.
Jika dibanding dengan
laju pertumbuhan harga Tanah, pendapatan merekapun sulit sekali untuk bisa
mengimbangi. Pada akhirnya kehidupan dengan pola desa berbaur dengan megahnya
bangunan villa, hotel dan gaya hidup para wisatawanya. Ketimpangan sosial pada
akhirnya terjadi di puncak. Himpitan ekonomi dan laju perkembangan ekonomi
mengakibatkan tertinggalnya adat dan budaya serta kearifan lokal warga sekitar.
Puncak secara umum
hanya terdiri dari 3 Kecamatan dengan 30an Desa didalamnya. Yaitu Kecamatan
Ciawi (79.877 Jiwa), Kecamatan Megamendung (76.163 Jiwa) dan Kecamatan Cisarua
(104.968 Jiwa). Satu desa rata-rata mencapai 2-3 ribu Kepala Rumah Tangga. Satu
RT rata-rata di huni oleh 100 KK. Sementara satu desa rata-rata terdiri dari
25-30 RT. Hal tersebut tentu berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia
yang relatif lebih kecil kapasitas penduduknya. Yang pada akhirnya semakin
sempitnya ruang terbuka umum maupun pribadi.
Dampak dari padatnya
Penduduk
Dengan begitu
padatnya penduduk dan ruang huniannya, maka bisa terbayang bagaimana proses air
mengalir dan sampah di produksi. Dulu air bisa meresap ke ruang pertanian (
persawahan dan kebun), kini semua tertampung oleh atap rumah bangunan. Air
mengalir deras dari atap rumah ke gang-gang rumahdan ke sungai-sungai kecil,
tersambung ke anak sungai Ciliwung dan pada akhirnya menyatu di Sungai
Ciliwung. Semakin sedikit ruang untuk mengerem laju air. Dampaknya tentu debet
Sungai Ciliwung naik, dan akhirnya bila semakin tinggi, maka beberapa wilayah
ibukota banjir. Pada musim kemarau, sampah menumpuh di pinggiran sungai,
sehingga pada waktu hujan turun sampah tersebut ikut hanyut ke Jakarta.
Sampah, jika satu
keluarga minimal dalam satu hari memproduksi sampah 1kg, maka satu desa dalam
sehari menghasilkan 2-3 ton sampah, jika dikalikan 30 desa maka sampah yang
dihasilkan oleh warga Puncak akan mencapai 60-90 ton sampah perhari. Jumlah
tersebut belum termasuk sampah-sampah yang dihasilkan para pengusaha Hotel,
Restoran dan Villa. Belum termasuk pula sampah yang berupa limbah cair dari
rumah tangga, Hotel/Restoran dan Industri.
Apa saja sampah yang
dihasilkan oleh warga? Secara umum sampah dari warga masyarakat tidak terlalu
pelik, namun karena jumlahnya yang banyak dan tata kelolanya yang kurang tepat
maka masalah jadi timbul. Sampah-sampah yang dihasilkan warga masyarakat secara
umum adalah:
1. Kantong plastik
2. Sisa sayuran
3. Kertas bungkus
4. Plastik bungkus
kopi, Gula, minyak, Terigu dll
5. Pempers
6. Softek
7. Bungkus Rokok
8. Stereo Foam
9. Potongan batang
dan daun tanaman
10. Kain bekas
11. Kardus
12. Botol-botol
minuman
13. Kaca ( Bekas
lampu, pecahan Piring, gelas, Botol dll)
14. Kawat/besi bekas
15. Seng Bekas
16. Limbah Cair (
Kotoran manusia, limbah dapur )
17. Dan lain-lain
Secara ekonomi, 30% (
ditulis miring ) sampah yang dihasilkan warga ada nilai ekonominya, namun
70-80% sampah yang bernilai ekonomi tadi sudah di beli oleh para pemulung.
Sisanya dibuang di tempat sampah, lereng-lereng belakang rumah dan mayoritas
sungai. Tidak ada ruang lain selain ketiga tempat tersebut.
Warga secara umum
tidak begitu peduli dengan tata kelola sampah yang mereka lakukan selama ini.
Begitu pula dengan para pemangku pemerintahan dari tingkat Desa, Kecamatan
hingga Kabupaten. Hingga hari ini tidak nampak sebuah gerakan untuk mengatasi
permasalahan lingkungan akibat ulah warganya tersebut, khususnya dari
pemerintahan setempat.
Permasalahan muncul
dan menjadi perbincangan hangat manakala, sampah-sampah tersebut ikut hanyut
hingga terbawa ke Ibukota. Selain air yang dikirim, sampahnya pun juga ikut
terkirim. Saling tuding antar masyarakat terjadi , begitu pula dengan sesama
birokrasi pemerintah DKI dan Kabupaten Bogor.
Mudahnya Perijinan
oleh Pemkab Bogor
Pemerintah Kabupaten Bogor
selama ini tidak pernah terbuka dalam tata kelola pemerintahannya. Beberapa
tahun yang lalu, pernah dikatakan akan dilakukan pengetatan perijinan di
wilayah Puncak khususnya, namun kenyataan nya hari ini, pembangunan villa,
hotel dan perumahan elit menjamur di puncak, tak kurang dari Agung Podomoro
Group ( Vimala Hill ), Aston Hotel, Hotel Harris, Centuri Hotel dan lain-lainya
saat ini sedang melakukan pembangunannya. Bahkan Taman Safari Indonesia dalam
waktu dekat kabarnya juga akan melakukan ekspansi 100 ha ke belakang.
Dalam jangka panjang,
dampak yang akan terjadi adalah:
1. Semakin minimnya
ruang terbuka hijau
2. Semakin mahalnya
harga tanah
3. Semakin sempitnya
kesempatan warga untuk memiliki lahan
4. Semakin masifnya
perumahan dilahan garapan
5. Semakin jauhnya
kesejahteraan warga
6. Semakin sempitnya
wawasan dan SDM warga
7. Dan semakin
minimnya kepedulian lingkungan warga akibat kondisi ekonomi dan sosial yang
kurang sehat.
Posting Komentar
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif