TEMPO.CO | Bogor - Vila-vila mewah
di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, tak luput dari pembongkaran.
Kepala Satuan Pamong Praja Kabupaten Bogor, Dace Supriyadi, mengatakan jumlah
vila mewah yang dibongkar hampir mencapai 50 persen dari 239 bangunan yang
menjadi target pembongkaran.
"Sebagian besar
bangunan vila yang tidak ber-IMB dan melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Ketertiban Umum ini merupakan bangunan mewah," kata dia saat ditemui di
sela-sela pembongkaran vila di Puncak, tepatnya Desa Tugu Utara, Kecamatan
Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin, 25 November 2013.
Dace mengatakan,
dirinya menerjunkan 650 personel gabungan yang terdiri dari 250 personel Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, 200 anggota Polri, 100 anggota TNI, 50
Satpol PP Jawa Barat, dan sisanya dari semua unsur Linmas: PMI, Damkar, dan
PLN. "Kami juga menerjunkan tiga unit alat berat untuk membongkar dan
menghancurkan vila tersebut," kata dia.
Vila-vila itu,
menurut Dace, tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) karena berdiri di
lahan milik negara dengan status hak guna usaha untuk perkebunan. Selain itu,
vila-vila itu juga berada di lokasi hutan lindung dan lahan konservasi.
Kepala Bidang
Pengendalian dan Operasi Satpol PP Kabupaten Bogor, Asnan Suganha, mengatakan
pembongkaran vila-vila itu dilakukan sesuai prosedur. "Tetap semua
prosedur, mulai dari pemberian surat peringatan (SP) sebanyak tiga kali.
Setelah itu dilakukan penyegelan yang dilakukan oleh petugas Dinas Tata
Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor karena tidak memiliki izin dan berdiri
di atas lahan milik negara," kata dia.
Asnan tidak bisa
memastikan apakah vila-vila mewah itu milik pejabat atau petinggi negara.
"Biasanya identitas pemilik bukan merupakan pemilik asli, tetapi
menggunakan nama orang lain atau anak buahnya," ujar dia.
Vila pertama yang
dibongkar dalam pembongkaran tahap dua ini adalah vila mewah milik seorang
pengusaha bernama Parlindungan Siregar. Ia merupakan seorang pengusaha penyedia
jasa telepon seluler. Vila tersebut berada di lahan milik perkebunan teh,
dengan luas tanah 2,5 hektare dan luas bangunan 1.000 meter. "Vila ini
dibangun pada tahun 2006 lalu dengan empat lantai, sementara status tanahnya
merupakan HGU untuk perkebunan, tetapi malah beralih fungsi menjadi vila dan
bangunan," kata dia.
Berdasarkan
informasi, vila yang dilengkapi dengan fasilitas kolam renang, ruang pertemuan,
dan lapangan terbuka di atasnya itu disewakan oleh sang pemilik. "Menurut
informasi, harga sewa vila ini per malamnya sekitar Rp 8-10 juta. Sedangkan
untuk libur Lebaran harganya lebih mahal, bisa mencapai Rp 13-15 juta per
malam," kata Asnan.
Asnan menuturkan,
agar vila-vila yang sudah dibongkar itu tidak kembali dibangun, pihaknya akan
terus melakukan pengawasan. Untuk itu pihaknya akan bekerja sama dengan
sejumlah instansi dan lembaga, di antaranya Perhutani, Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP), dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor.
Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Provinsi Jawa Barat, Sigit, mengatakan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat mendukung semua kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
"Untuk masalah vila di Puncak, bukan hanya merupakan tanggung jawab
Kabupaten Bogor, tetapi sudah merupakan tanggung jawab nasional karena ini
merupakan daerah resapan yang berdampak pada nasional," kata dia.
Posting Komentar
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif