"Tunggu Suami Kontrak
Balik karena Baru Dibayar Separo"
jpnn.com | Namanya sebut saja
Ani. Umurnya 25 tahun. Sehari-hari, dia adalah seorang PSK yang biasa mangkal
di daerah Tugu Selatan, Cisarua.
Kepada Jawa Pos yang
menemui di sebuah rumah biliar dan karaoke di daerah Cisarua, Ani mengaku
sempat ditawari tetangganya untuk menjadi istri kontrakan seorang pria dari
Timur Tengah. ''Aku nggak mau, Mas,'' katanya dengan intonasi sangat tegas.
Mengapa tidak mau?
''Banyak nggak enaknya. Uang yang diterima nggak sebanding dengan risiko yang
harus dihadapi,'' tuturnya.
Apa yang dimaksud
dengan risiko itu? Ani lantas menceritakan pengalamannya dicurhati beberapa
temannya yang dikawin kontrak pria Timur Tengah. ''Mereka kebanyakan mengaku
kewalahan dan kelelahan melayani pasangannya. Bahkan, ada di antaranya yang
cerita sampai tersiksa lahir dan batin,'' paparnya.
Ani menambahkan,
kebanyakan wanita yang mau dikawin kontrak berumur 28-32 tahun. ''Kalau masih
muda seperti saya, banyak yang nggak mau,'' ujarnya. ''Meski pekerjaanku
menjual diri, aku kan juga harus pilih-pilih pasangan. Apa artinya dapat uang
banyak kalau jadinya malah sakit semua. Apalagi sampai tersiksa batin,'' tegas
ibu dua anak tersebut.
Cecep, salah seorang
calo, menambahkan, memang tak mudah mencari wanita yang mau dikawin kontrak.
Mereka yang menjadi istri kontrakan turis Timur Tengah, lanjut dia, harus siap
fisik dan mental.
Para istri harus
selalu bersedia kapan pun dibutuhkan. Sebab, gairah para turis ras kaukasoid
itu tak mengenal ruang dan waktu. Sekali ''pengen'', harus langsung dikabulkan
saat itu juga.
Berdasar pengalaman
menjadi penjaga vila selama lima tahun, Cecep sering melihat para turis Timur
Tengah itu memenuhi hasrat seksualnya di sembarang tempat. Pernah dia melihat
mereka melakukannya di taman kompleks vila. Siang-siang lagi!
''Ya gituan, di depan
umum. Tapi, bukan di depan umum di depan banyak orang. di luar, tapi masih
kompleks vila. Kami yang tahu ya ngelihat aja,'' ujarnya lantas tersenyum.
''Kalau di luar saja seperti itu, apalagi kalau di dalam kamar,'' imbuhnya.
Selain itu, kata
Cecep, wanita yang menjalani kawin kontrak harus siap atas segala
konsekuensinya. Sering tidak ada yang mau memperistri wanita yang selesai
menjalani kawin kontrak. Lelaki Cisarua telanjur menganggap, secara fisik,
wanita yang selesai menjalani kawin kontrak sudah rusak. ''Kalau sudah gitu,
siapa yang mau?'' katanya.
Akibatnya, kata
Cecep, banyak di antara mereka yang akhirnya benar-benar menjadi pelacur
setelah menjadi istri kontrak. Pelacur eks kawin kontrak itu pun tak beroperasi
di daerah sekitar Puncak. Mereka lebih memilih kawasan remang-remang lain di
Cisarua.
Kalaupun ada, citra
wanita eks kawin kontrak dianggap jelek di dunia pelacuran Puncak. Pelacur
seperti itu dianggap tak berkualitas dan sering mengecewakan pelanggan. Rabu
malam lalu (6/5), Jawa Pos sempat membawa salah seorang wanita pelaku kawin
kontrak ke sebuah vila untuk keperluan wawancara. Salah seorang penjaga vila
yang juga mucikari sempat melihat wanita tersebut.
Lelaki itu lantas
mengirim SMS kepada Jawa Pos. ''Mas, bisa keluar sebentar?'' ungkap penjaga itu
dalam pesan singkatnya.
Saat ditemui,
mucikari tersebut menyatakan bahwa kualitas wanita yang dibawa tidak bagus.
''Ngapain Mas? Dia sering mengecewakan pelanggan. Dia itu mah, bekas wanita
kawin kontrak. Saya bisa carikan yang lebih bagus,'' katanya setengah berbisik.
Dunia remang-remang
juga penuh persaingan. Antara satu mucikari dengan yang lain merasa memiliki
stok wanita lebih baik. Karena itu, begitu ada wanita eks kawin kontrak yang
dibawa mucikari lainnya, hal tersebut menjadi bahan pergunjingan. Akibatnya,
umumnya mucikari enggan menjadi mucikari para wanita eks kawin kontrak.
Para pelaku kawin
kontrak umumnya bukan penduduk asli Cisarua. Mereka biasanya berasal dari
daerah lain di sekitar Bogor. Umumnya berasal dari daerah yang masih sejalur
dengan kawasan Puncak. Di antaranya, Bandung dan Cianjur.
Tapi, tidak semua
wanita yang dikawin kontrak punya cerita menyedihkan. Salah satunya dialami
Dewi, sebut saja namanya demikian. Ibu dua anak tersebut mengaku sudah
dikontrak menjadi istri seorang pria asal Iran untuk jangka empat tahun. Nilai
kontraknya mencapai Rp 70 juta.
''Baru dua tahun ini
berjalan,'' ujar wanita 28 tahun yang tinggal di Gandamanah tersebut kepada
Jawa Pos saat ditemui di sebuah vila di Kampung Tugu Selatan, Puncak, Cisarua,
Bogor, Rabu pekan lalu (6/5).
Dia lantas
menceritakan, perkenalannya dengan pria asal Iran tersebut terjadi pada 2007.
Namanya Abdul, berumur sekitar 40 tahun. Keduanya kemudian menikah secara kawin
kontrak di sebuah rumah kontrakan milik Dewi.
Setelah menikah, Dewi
lantas dibawa ke vila yang sudah disewa Abdul di kawasan Tugu Selatan. Karena
sudah diikat tali perkawinan kontrak, hubungan layaknya suami-istri pun mereka
lakukan.
Dewi mengungkapkan,
nafsu suami kontrakannya itu berbeda dari lelaki pada umumnya. Dalam sehari,
lebih dari lima kali dirinya harus melayani. Itu pun tak boleh ditolak. ''Ya
bagaimana lagi. Saya juga sudah teken kontrak,'' katanya.
Tapi, dia menampik
anggapan bahwa hubungan tersebut dilakukan di tempat umum. ''Ya enggak lah.
Memang kadang-kadang rewel kayak anak kecil. Tapi, tidak pernah kalau sampai di
tempat umum,'' tegasnya.
Tahun pertama
pernikahannya, kata Dewi, hubungan keduanya berjalan tiga bulan. Yakni, antara
Mei hingga Juli. Setelah itu, Abdul kembali ke negaranya. Selama ditinggal
pergi suaminya, Dewi tidak tinggal di vila. Dia kembali ke rumahnya. ''Pokoknya
kalau suami datang, saya menginap di vila. Kalau dia pergi ke negaranya, ya
saya balik lagi ke rumah sendiri,'' jelasnya.
Namun, musim Arab
tahun ini, Abdul tak juga mengunjungi Dewi. Padahal, biasanya akhir April dia
sudah datang. Namun, hingga memasuki Mei, dia tak juga datang. Kendati
ditinggal, Dewi tak punya niat untuk kabur.
Dia juga berharap
suaminya itu datang. Bukan karena cinta. ''Dia kan baru bayar separo dari nilai
kontrak. Jadi, ya saya tunggu dulu. Janjinya sih sisanya mau dibayar musim Arab
tahun ini,'' ungkapnya. (bersambung/kum)
Posting Komentar
Mohon berkomentar yang tidak menyinggung SARA. Mari bangun komentar yang konstruktif